Custom Search

Friday, May 11, 2012

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 262

الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ثُمَّ لاَ يَتْبِعُونَ مَآأَنفَقُوا مَنًّا وَلآَ أَذًى لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. 2:262)
Tafsir ayat:
Allah Ta’ala berfirman (الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ): “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah”, Allah Ta’ala menyebutkan kembali untuk menjelaskan apa yang setelahnya yaitu firmannya (ثُمَّ لاَ يَتْبِعُونَ مَآأَنفَقُوا مَنًّا وَلآَ أَذًى): “kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima)”.
Firman Allah (ثُمَّ لاَ يَتْبِعُونَ مَآأَنفَقُوا مَنًّا): “kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya”, yakni bahwa orang-orang yang bershadaqah tidak mengungkit-ungkit apa yang mereka shadaqakan, yang dengan mengungkit-ungkit pembarian bertujuan untuk menampakan dan menunjukan bahwa orang yang berinfaq tersebut lebih tinggi kedudukannya dari orang yang diberi infaq. (وَلآَ أَذًى): “Dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima)” contoh hal ini, yaitu jika seorang yang berinfaq mangatakan di hadapan orang-orang: “Sungguh aku telah memberi fulan ini dan itu”, ini dapat menyakiti orang yang telah menerima pemberian tersebut.
Firman Allah Ta’ala (لَّهُمْ أَجْرُهُمْ): “bagi mereka pahala”, (الأجْرُ): “Pahala”, adalah sesuatu yang diberikan kepada pekerja sebagai balasan dari pekerjaannya, salah satu bentuknya adalah gaji karyawan. Allah Ta’ala menamakannya (الأجْرُ): “Pahala/ganjaran” karena Allah Ta’ala telah menanggung bagi orang yang beramal balasan amalnya, ini seperti halnya memberikan gaji karyawan.
Firman AllahTa’ala (عِندَ رَبِّهِمْ): “Di sisi Rabb mereka”, bahwasanya Allah Ta’ala akan benar-benar membalas pahala mereka dan balasan pahala tersebut tempatnya di surga yang mana atapnya Arsy Ar-Rahman.
Firman Allah Ta’ala (وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ): “Dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka”, kemudian sebagai buahnya adalah (وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ): “Dan tidak (pula) mereka bersedih hati”, atas apa yang telah lalu, ini adalah sebagai suatu kesempurnaan nikmat atas mereka, karena jika seorang yang diberi nikmat tertimpa kesedihan atau ketakutan maka kenikmatan yang dia dapatkan tidak sempurna.
Pelajaran dari ayat yang mulia ini:
1. Ayat ini memotivasi kita untuk berinfaq di jalan Allah Ta’ala ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ) : “bagi mereka pahala”.
2. Ayat ini mengisyaratkan kepada kita agar kita berbuat ikhlas, dan senantiasa mengikuti ajaran syari’at (dalam beramal dan tidak membuat-buat amal yang tidak disyari’atkan), ini berdasarkan firmanNya (اللهِ فِي سَبِيلِ): “Di jalan Allah”.
3. Pelajaran dari ayat ini juga adalah bahwasanya orang yang mengikutkan infaqnya dengan perbuatan mengungkit-ungkitnya, atau menyakiti hati orang yang di beri infaq, maka tidak ada pahala baginya, ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (ثُمَّ لاَ يَتْبِعُونَ مَآأَنفَقُوا مَنًّا وَلآَ أَذًى لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِم) : “kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Rabb mereka”, jika ia mengiringi shadaqahnya dengan perbuatan mengungkit-ungkit pemberian, atau dengan menyakiti orang yang diberi shadaqah tersebut, maka batalah pahalanya, sebagaimana ini telah jelas termaktub di dalam firman Allah Ta’ala (يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَاْلأَذَى): “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),”(Al-Baqrah: 264)
4. Bahwasanya (المََنُّ : Mengungkit pemberian), dan (الأَذًَى: Menyakiti hati orang yang diberi) membatalkan pahala shadaqah, adapun syarat diterimanya shadaqah adalah seperti apa yang telah di sebutkan di atas yaitu shadaqah harus ikhlas untuk Allah, dan harus sesuai dengan tutunan syariat.
Permasalahan pertama:
Bagaimana jika si pemberi shadaqah hanya sekedar memberitahu bahwa dia telah memberi sifulan tanpa (المََنُّ : Mengungkit pemberian) yang telah ia berikan, apakah hal ini termasuk menyakiti perasaan orang yang diberi?
Jawab:
Ya, hal tersebut termasuk (الأَذًَى: Menyakiti hati orang yang di beri), karena hal itu akan mengurangi harga diri orang yang diberi di hadapan orang yang mengetahuinya. Akan tetapi jika dari hal itu ia bermaksud baik yaitu agar manusia mencontohnya, maka hal itu tidak termasuk (الأَذًَى: Menyakiti hati orang yang di beri), bahkan bisa jadi sebaliknya yaitu sebagai kemaslahatan orang yang diberi. Adapun jika ia menyebutkan bahwa ia telah memberi sesuatu tanpa menyebutkan siapa yang ia beri maka tidak terdapat pada apa yang ia lakukan itu (الأَذًَى: Menyakiti hati orang yang di beri), akan tetapi ditakutkan dari hal itu timbul rasa ujub atau riya dari apa yang ia berikan.
Permasalahan kedua:
Bagaimana jika orang yang diberi merasa bahwa orang yang berinfaq telah mengungkit-ungkit pemberiannya , atau ia menyakit hatinya, manakah yang lebih baik baginya, apakah ia tetap mempertahankan apa yang telah di berikan ataukah ia lebih baik mengembalikannya kepada orang yang memberinya?
Jawab:
Yang lebih baik baginya adalah mengembalikan barang yang telah diberikan, agar tidak ada orang yang mengungkit-ungkit hal tersebut, akan tetapi jika ia mengembalikan barang tersebut setelah ia memegangnya (menjadi hak miliknya) apakah bagi orang yang telah memberi barang tersebut harus menerima barang yang akan dikembalikan kepadanya?
Jawab:
Tidak harus ia menerimanya, karena barang tersebut bukan miliknya lagi, dan telah menjadi milik orang yang telah diberikan padanya. Maka pengembalian barang tersebut (bukan lagi dikatakan sebagai pengembalian kepada yang telah memberi, akan tetapi ia) sebagai pemberian dari orang yang telah diberi kepada orang yang telah memberinya.
5. Bahwa orang yang menginfaqkan harta mereka di jalan Allah, yang mana mereka selamat dari hal-hal yang membatalkan amal-amalan mereka , maka mereka itulah orang-orang yang tidak ada ketakutan bagi mereka pada hari mendatang (kiamat) dan tidaklah mereka bersedih hati terhadap yang apa telah berlalu.
[Sumber: Tafsir al-Qur-an al-Karim, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, jilid 3, semoga Allah merahmatinya. Diposting oleh Sufiyani Abu Muhammad Ismail al-Kalimantani]

0 comments:

Post a Comment