Lihatlah suasana orang yang dilanda iri dengki, hatinya selalu risau dan
larut dalam kebencian. Terlebih lagi jika orang yang didengki
memperoleh keberhasilan dan mendapat nikmat. Inginnya nikmat tersebut
segera sirna musnah tak berbekas. Jika dibiarkan, perasaan iri akan
menjadi menjadi bibit dosa lain dan awal bergulirnya pelanggaran
perintah Allah. Iblis menjadi mahluk terlaknat berawal dari iri, begitu
pula pembunuhan pertama yang dilakukan manusia juga bermotifkan iri.
Berhenti, jangan teruskan!
Rasa
iri bisa membuat orang gelap mata dan memandang selalu dengan suudzan.
Kadang kebencian ini ditularkan kepada orang lain. Dikatakannya bahwa
keberhasilan yang diraih orang yang dibencinya lewat jalan yang tidak
benar. Ada juga yang mencibir, menebar fitnah bahkan membuat makar. Bila
sudah begitu iri hati lebih berbahaya daripada sakit kronis yang susah
diobati.
Dengki timbul karena tiupan setan, karena itu segera
redam dengan ber-taawwudz kepada Allah. Caranya dengan membaca ayat
kursi dan muawwidzatain. Atau membaca, “Audzu bikalimatillahi at tammah
min syarri ma khalaq.” (aku berlindung kepada kalimat allah yang
sempurna dari kejelekan mahluk-Nya). Selagi iri hati belum berkobar,
hentikan sekarang juga dan jangan teruskan!
Takdir Allah Tak Pernah Salah
Seorang
ahli hikmah mengatakan, jika dilihat dari sisi takdir orang yang iri
berarti sedang menantang tuhan. Alasannya ialah; pertama, membenci
nikmat-Nya yang diberikan kepada orang lain. Kedua, merasa bahwa Allah
tidak adil dalam membagi karunia. Ketiga, menganggap bahwa Allah bakhil
terhadap dirinya. Keempat, menganggap hina hamba Allah dan menyanjung
dirinya sendiri dan kelima, lebih menuruti bisikan iblis daripada
perintah Allah. Rasa iri dengki tersebut muncul karena melihat orang
lain memiliki kelebihan yang tak ia miliki. Bisa jadi berupa harta,
bakat atau keahlian tertentu. Kebencian ini menjadi lebih besar bila
orang yang didengkinya lebih rendah kedudukannya.
Semua nikmat
dan kelebihan yang dimiliki hamba tak lain adalah bagian dari qadha’ dan
qadar. Manusia tidak dikatakan beriman jika tidak mengimaninya. Allah
memiliki sifat al ‘alim (dzat yang maha tahu) yang menentukan segalanya
dengan ilmu-Nya. Karena itu memberi hambanya segala sesuatu yang terbaik
baginya. Tugas manusia adalah meyakini sepenuhnya bahwa semua
kenikmatan tersebut berasal dari Allah dan dibagikan sesuai dengan
hikmah.
Tidak semua nikmat dapat membuat hamba bersyukur. Ada
hamba yang lebih baik miskin daripada kaya. Sebab kemiskinan dapat
membuatnya bersyukur bukan kekayaan. Misalnya adalah Qarun, yang dapat
beriman tatkala miskin tapi melupakan Allah saat kunci-kunci gudang
hartanya tidak sanggup dipanggul tujuh orang. Ada pula yang lebih tepat
kaya, karena mampu mengatur kekayaannya sesuai tuntunan agama, misalnya
sahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf.
Allah berfirman
yang artinya, “Dan Jikalau Allah melampangkan rezeki kepada
hamba-hamba-Nya tentunya mereka akan melampaui batas di muka bumi,
tetapi allah menurunkan apa yang dikehendakinya dengan ukuran.
Sesungguhnya dia maha mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi maha
melihat.” (QS. As Syura: 27)
Syukuri Apa yang Ada
Iri
dan dengki membuat diri sendiri lupa terhadap banyaknnya nikmat yang
diperoleh dan kelebihan yang dimiliki, hanya saja bentuk dan proporsinya
berbeda. Ia lebih fokus pada kekurangannya bukan potensinya. Ia merasa
kurang dan lemah, padahal bisa jadi orang yang didengki merasa tak lebih
beruntung dari orang yang mendengki. Seperti itulah godaan setan,
membisikkan bahwa ‘rumput tetangga lebih hijau’. Selain itu, tidak ada
jaminan bahwa tuntunan nafsu akan terhenti saat yang diinginkan dapat
diperoleh. Sebab, tabiat nafsu selalu merasa kurang.
Karena itu,
Rasulullah SAW memerintahkan selalu melihat ke ‘bawah’. Agar kita selalu
sadar bahwa ada banyak orang yang lebih sulit keadaannya. Sehingga kita
mensyukuri apa yang telah dimiliki.
“Jika salah seorang di
antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan harta dan rupa, maka
lihatlah kepada orang yang berada di bawahnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Batin akan merasa tenang bila dapat menyeimbangkan antara
keinginan dan kenyataan. Dengan bersabar dan bersyukur ujian Allah
dapat dilalui dengan mudah. Alkisah, seorang wanita cantik menikah
dengan pria yang buruk rupa. Semua orang menyayangkan dan mencibir.
Bahkan ada yang berkata bahwa si wanita terkena guna-guna. Tapi hal itu
tak dapat membuat suami-istri tersebut goyah. Suatu hari sang istri
berkata kepada suaminya, “Suamiku allah memberi ujian kepadamu berupa
istri yang cantik, bersyukurlah. Sedangkan aku diuji dengan anda tapi
aku bersabar. Kita berdua mendapat pahala.”
Arahkan Kepada yang Positif
Segala
sesuatu tidak terjadi secara instan. Seseorang tidak begitu saja
terlahir pintar tanpa belajar. Orang yang pandai berceramah juga melalui
proses. Orang punya banyak teman karena pandai menjaga sikap dan
tingkah lakunya. Intinya keahlian diperoleh dari latihan yang tekun dan
kontinyu. Kadang, itu semua dilihat sebagai bakat dan telah ada sejak
lahir, namun pada hakekatnya hal itu adalah rahmat dan kemudahan dari
Allah SWT. Kullun muyassarun lima khuliqa lahu (setiap manusia
dimudahkan menuju untuk apa ia diciptakan). Jangan lihat hasilnya tapi
proses untuk mencapainya, begitu berat dan kadang mengharukan.
Bila
melihat orang lain beroleh nikmat kenapa rasa iri yang harus muncul?
Alangkah indahnya jika turut merasa bahagia. Hati akan merasa lebih
tenang dan ikatan ukhuwwah menjadi kian erat. Rasulullah saw bersabda,
“Tidak
sempurna iman seorangpun dari kalian hingga mencintai untuk saudaranya
apa yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini adalah
tingkatan iman yang tinggi. Untuk menggapainya dengan melatih diri
dengan sifat itsar (altruisme), mementingkan orang lain dibanding diri
sendiri. Wallahu A’lam.