Custom Search
Monday, October 6, 2014
HIKMAH DARI PENGORBANAN NABI IBRAHIM A.S
Keteladanan dalam Al-Qur’an hanya ditujukan pada dua tokoh nabi yang sangat mulia, yakni Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad SAW. Begitu pula gelar kekasih Allah hanya disandang oleh kedua nabi tersebut. Shalawat yang diajarkan Rasulullah saw pada umatnya pun hanya bagi dua nabi dan keluarganya.
Pilihan Allah SWT ini sangat terkait dengan risalah yang telah dilakukan oleh keduanya dengan sangat sempurna.
Pada kesempatan ini marilah kita ungkap sedikit mengenai sejarah dan keteladanan yang dibawa oleh Nabi Ibrahim a.s beserta keluarganya.
Telah diceritakan di dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama, Bapak dari para nabi itu telah melewati berbagai
cobaan dari Allah SWT sejak beliau masih muda hingga masa tuanya dengan penuh
kesabaran dan ketaatan, tanpa membantah. Beliau pernah dibakar hidup-hidup atas
perintah Raja Namrud yang lalim karena berjuang menegakkan risalah Allah,
menghabiskan bilangan tahun yang panjang dalam menanti seorang anak, kemudian
saat sang anak lahir, beliau diperintahkan untuk meninggalkan anak itu beserta
ibunya di tengah padang pasir tandus yang tak berpenghuni tanpa dibekali
apa-apa. Namun, puncak dari segala cobaan yang diterima oleh Nabi ibrahim a.s,
yakni ketika beliau menerima ilham untuk menyembelih anak yang teramat disayanginya,
yang dinanti-nantikan kehadirannya. Perintah yang paling tidak masuk akal bagi
kita.
Namun, Nabi ibrahim dan anaknya, Ismail, dengan
berserah kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan mau melaksanakan perintah
dari Allah yang sangat berat itu. Walaupun di tengah perjalanan menuju tempat
penyembelihan keduanya digoda oleh syaitan yang berusaha menggoyahkan keyakinan
mereka, namun mereka tetap teguh dalam melaksanakan perintah Tuhan, bahkan
melempari syaitan yang menggoda niat mereka itu.
Saat-saat
yang menegangkan pun tiba. Ketika nabi Ibrahim menempelkan mata pisau yang
tajam ke leher anaknya, Ismail, saat itulah Allah berbuat lain. Tanpa disadari
oleh kedua hamba Allah yang patuh itu, Allah telah menukar Ismail dengan seekor
kibasy (sejenis domba) yang gemuk untuk disembelih. Sehingga Ismail pun selamat
dari penyembelihan yang dilakukan ayahnya.
Kisah itu
sudah menjadi pengetahuan bagi seluruh umat muslim, dan setiap tahunnya, jutaan
umat muslim melaksanakan ritual ibadah haji sebagai bentuk keteladanan terhadap
perjalanan pengorbanan yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim beserta
keluarganya. Setiap rukun haji melambangkan kejadian yang dilakukan oleh Siti
Hajar, Nabi Ibrahim a.s, dan anaknya, Ismail. Seperti lari-lari kecil (sa’i),
melempar jumroh, termasuk menyembelih hewan kurban. Namun, pelajaran apakan
yang dapat kita petik dari kisah pengorbanan nabi Ibrahim ini? Setidaknya ada 3
hal yang dapat kita jadikan pelajaran.
Pertama, sebagai seorang mukmin yang mengaku beriman, kita
tidak akan dibiarkan merasa beriman tanpa diuji oleh Allah. Bahkan para nabi
pun tidak luput dari ujian Allah. Terlebih kita sebagai manusia biasa yang
hampir setiap hari menumpuk dosa dalam catatan amal kita. Ujian yang diberikan
kepada kita sebenarnya ada dua bentuk, yakni musibah dan nikmat.
Ada beberapa sebab Allah memberikan ujian berupa
musibah kepada kita. Yang pertama, bisa jadi itu merupakan sebuah teguran dari
Allah kepada kita sebagai ummat-Nya yang sudah dianggap menyimpang jauh dari
jalan yang diridhoi-Nya. Misalnya keadaan negeri kita belakangan ini yang
menerima ujian bertubi-tubi berupa bencana alam yang terjadi di berbagai
wilayah nusantara dan telah memakan banyak korban, seperti banjir bandang di
Papua, gempa dan tsunami di Sumatera Barat, dan yang terakhir meletusnya Gunung
Merapi di Jawa Tengah.
Peristiwa-peristiwa itu telah meninggalkan luka bagi
ibu pertiwi. Sudah selayaknya kita renungkan bersama apa yang menyebabkan Allah
begitu murka sehingga menurunkan azab-Nya secara bertubi-tubi kepada kita.
Bukankah seharusnya kita bisa mengambil pelajaran? Sudah banyak penyimpangan
dan kerusakan yang dilakukan di atas bumi zamrud khatulistiwa ini. Sudah banyak
yang kufur terhadap nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Bisa kita
lihat, tidak ada negeri yang kekayaannya melebihi negeri kita tercinta ini.
Melimpahnya kekayaan alam, keindahan alam yang tiada bandingannya di belahan
dunia manapun, beragamnya suku, adat, budaya, dan keanekaragaman kuliner khas
dari setiap daerahnya, semua itu hanya dimiliki oleh Indonesia. Tapi ternyata,
semua kekayaan yang telah diberikan Allah itu tidak membuat kita cukup
bersyukur. Justru sebaliknya, membuat kita semakin serakah, tamak, dan kufur
terhadap nikmat Allah. Tidak hanya banyak kerusakan alam yang dilakukan seperti
penggundulan hutan secara membabi buta, pengerukan gunung-gunung sebagai pasak
bumi yang akhirnya menjadi danau-danau yang tidak produktif karena mengandung
zat-zat beracun dan berbahaya, tapi juga banyak kerusakan di bidang lainnya
seperti KKN berjamaah yang nampaknya sudah mendarah daging dan berurat akar
dalam benak hampir setiap perangkat institusi. Belum lagi bobroknya moral anak
bangsa akibat gerusan globalisasi zaman tanpa filter yang sifatnya prinsipil
yang sampai sekarang belum ditemukan penyelesaiannya.
Allah menegur kita karena Allah begitu menyayangi
kita. Allah ingin kita kembali kepada-Nya. Kembali menjadi hamba yang taat,
hamba yang bertaqwa. Allah ingin kita memperbaiki lagi kerusakan-kerusakan yang
sudah terlanjur dilakukan, semua demi kebaikan kita sendiri, demi kesejahteraan
kita bersama. Allah ingin kita kembali ingat apa tujuan hidup kita di dunia
ini, yakni beribadah kepada-Nya.
Selain sebagai teguran, ujian dalam bentuk musibah
yang diberikan oleh Allah bisa jadi karena Allah ingin menghapuskan dosa-dosa
kita yang sudah menggunung tak terhitung banyaknya. Bagaimana caranya? Yakni
dengan bersabar. Jika kita sanggup bersabar atas ujian yang diberikan Allah,
maka kesabaran kita itu akan menghapus dosa-dosa kita. Bersabar tidak hanya
pasrah menerima nasib, tapi bagaimana kita berusaha bangkit dan keluar dari
ujian dan permasalahan yang diberikan Allah. Bukan hanya bersabar dengan
berdiam diri. Hal itu tidak disukai Allah, karena Allah tidak akan mengubah
keadaan suatu kaum jika kaum itu tidak berusaha untuk mengubah keadaannya
sendiri.
Kemudian, ujian dari Allah bisa jadi dimaksudkan untuk
mengangkat derajat hamba-Nya. Seperti Nabi Ibrahim yang kemudian layak
disebut-sebut sebagai kekasih Allah setelah melewati begitu banyak ujian
sepanjang perjalanan hidup beliau. Namun beliau tetap tabah, sabar, dan selalu
berserah kepada Allah SWT dalm menjalankan setiap titah yang diperintahkan
kepada beliau.
Adapun ujian dari Allah ada juga berupa nikmat. Ujian
berupa nikmat ini seringkali tidak kita sadari, bahkan kita abaikan dan kita
pergunakan untuk hal-hal tercela yang dibenci Allah. Ujian berupa nikmat ini
bisa berupa kekayaan, kedudukan, kesehatan, kecerdasan, dan sebagainya. Seorang
hamba Allah dikatakan lulus ujian tersebut jika ia bisa mensyukuri dan memanfaatkan
nikmat yang diberikan oleh Allah itu untuk hal-hal baik, untuk beribadah dan
berjuang di jalan-Nya.
Pelajaran ke dua yang bisa kita tarik dari kisah Nabi Ibrahim tersebut
ialah agar kita beribadah dengan ikhlas, tanpa motivasi lain kecuali
semata-mata mengharapkan ridho dari Allah SWT. Niat yang ikhlas itulah yang
membuat Nabi Ibrahim sanggup menyembelih anak kandungnya sendiri, demi mematuhi
perintah Allah.
Namun beribadah dengan dengan niat yang ikhlas ini
tidak mudah dilakukan karena hati manusia begitu mudah tergelincir dan tergoda
oleh motivasi lain. Sebagaimana yang kita ketahui, sesungguhnya amal itu
tergantung pada niat, dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan yang
diniatkannya. Misalnya, jika seseorang bersedekah dengan maksud ingin dipuji
dan dianggap dermawan oleh orang di sekitarnya, maka hal itulah yang akan
didapatnya, bukan pahala di sisi Allah SWT.
Pelajaran ke tiga dari cerita Nabi ibrahim tersebut adalah
berkaitan dengan hubungan bapak (orang tua) dan anak. Ketika Nabi Ibrahim a.s
memberitahukan kepada Ismail tentang penyembelihan itu, Ismail tidak
memperlihatkan sikap penolakan, bahkan mendukung untuk segera melaksanakan
perintah dari Tuhan kepada ayahnya itu. Betapa Ismail sebagai anak begitu patuh
kepada orang tuanya dan juga patuh kepada Allah, sekalipun perintah yang
dilaksanakan kepadanya itu akan membahayakan jiwanya.
Kita sebagai anak, diwajibkan untuk berbuat baik
kepada kedua orang tua kita sekalipun mereka tidak beriman kepada Allah. Kita
pun harus menuruti nasihat dan perintah orang tua selama itu akan membawa
kebaikan bagi diri kita dan tidak melanggar larangan Allah SWT.
Begitu dihormatinya posisi orang tua dalam Islam,
sehingga orang tua berkewajiban untuk mendidik anak-anaknya agar berkepribadian
muslim dan berbakti kepada Tuhannya. Namun, dewasa ini banyak kita saksikan
orang tua yang seakan lupa pada kewajibannya mendidik anak-anak mereka karena
terlalu disibukkan oleh kewajiban lain yakni mencari nafkah. Sehingga banyak
anak yang tercukupi semua kebutuhannya secara materiil tapi kering jiwa dan
batinnya karena jarang atau bahkan tidak pernah merasakan kasih sayang dari
orang tuanya. Seharusnya kedua kewajiban itu bisa dilaksanakan secara seimbang.
Carilah nafkah secukupnya, dan jangan sampai melupakan kewajiban penting untuk
membimbing dan mendidik anak-anak agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah.
Itulah tiga pelajaran di antara banyak hikmah lain
yang dapat kita tarik dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. Semoga dengan
mempelajari hikmah ini dapat membuat kita lebih bijak dalam menghadapi setiap
permasalahan dalam hidup kita. Aamin 3x, yaa … robbal ‘alamin …
4:47 PM
admin
No comments