Custom Search
Tuesday, June 30, 2015
Keutamaan Sepuluh Hari ketiga Ramadhan
Ummul
Mu`minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan tentang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada 10 terakhir Ramadhan kurang lebih sebagai berikut :
“Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki 10 terakhir Ramadhan,
beliau mengencangkan tali sarungnya (yakni meningkat amaliah ibadah beliau),
menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya.” Muttafaqun
‘alaihi
Pertama
: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serius dalam melakukan amaliah
ibadah lebih banyak dibanding hari-hari lainnya. Keseriusan dan peningkatan
ibadah di sini tidak terbatas pada satu jenis ibadah tertentu saja, namun
meliputi semua jenis ibadah baik shalat, tilawatul qur`an, dzikir, shadaqah,
dll.
Kedua
: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangunkan istri-istri beliau agar
mereka juga berjaga untuk melakukan shalat, dzikir, dan lainnya. Hal ini karena
semangat besar beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar keluarganya juga dapat
meraih keuntungan besar pada waktu-waktu utama tersebut. Sesungguhnya itu
merupakan ghanimah yang tidak sepantasnya bagi seorang mukmin berakal untuk
melewatkannya begitu saja.
Ketiga
: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada 10 Terakhir ini,
demi beliau memutuskan diri dari berbagai aktivitas keduniaan, untuk beliau
konstrasi ibadah dan merasakan lezatnya ibadah tersebut.
Keempat
: Pada malam-malam 10 Terakhir inilah sangat besar kemungkinan salah satu di
antaranya adalah malam Lailatur Qadar. Suatu malam penuh barakah yang lebih
baik daripada seribu bulan.
Keutamaan Sepuluh Hari kedua Ramadhan
Setelah berhasil melalui fase pertama yang sudah
pasti cukup berat karena tubuh dan pikiran berusaha beradaptasi dengan kondisi
saat puasa, maka 10 hari kedua Ramadhan ini mungkin akan terasa lebih ringan
karena akhirnya tubuh sudah mulai terbiasa dengan aktivitas puasa yang menuntut
seseorang untuk tidak makan dan minum dimulai sejak matahari terbit hingga saat
matahari terbenam.
Untuk
keutamaan 10 hari kedua Ramadhan seperti yang disebutkan didalam hadist Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Ia berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan
akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)”. Nah, pada fase kedua
atau fase 10 hari kedua Ramadhan inilah Allah membukakan pintu magfirah atau
ampunan yang seluas-luasnya.
Karenanya
Jangan sampai kita melewatkan hari-hari penuh ampunan yang telah dijanjikan
oleh Allah SWT dengan sia-sia. Pada waktu-waktu inilah saat yang paling tepat
untuk memperbanyak doa serta memohon ampunan kepada Allah SWT atas segala
dosa-dosa yang telah kita lakukan di masa lalu agar diampuni dan dibebaskan
dari hukuman.
Perbanyaklah
melakukan sholat malam, berdoa dan berdzikir karena pada 10 hari kedua Ramadhan
ini merupakan kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk mengurangi
dosa-dosa yang telah kita perbuat. Dengan memohon ampunan dengan tulus dan
bersungguh-sungguh serta bertobat dari hati yang terdalam Insya Allah pasti
mendapatkan ampunan-Nya.
Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Ramadhan
Pada
sepuluh hari pertama bulan Ramadhan Allah SWT memberikan rahmat dan
limpahan pahala dari berbagai amalan yang kita lakukan selama puasa. Fase-fase
10 hari pertama Ramadhan memang merupakan fase terberat dan tersulit karena
merupakan fase peralihan dari kebiasaan pola makan normal menjadi harus menahan
lapar dan haus mulai dari subuh hingga magrib.
Selain
itu ternyata tidak hanya tubuh saja yang melakukan adaptasi, pada fase 10 hari
pertama Ramadhan ini pikiran kita juga sedang berusaha melakukan beradaptasi
atau penyesuaian dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk dapat
menunaikannya. Oleh sebab itu pada 10 hari pertama Ramadhan ini Allah SWT
memberikan keistimewaan dengan membukakan pintu rahmat yang sebesar-besarnya
bagi hamba-Nya yang telah sabar dan ikhlas dalam menunaikan puasa selama 10
hari pertama dibulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah
SWT.
Untuk
itu jangan sampai kita melewatkan kesempatan mendapatkan rahmat dari Allah SWT
selama 10 hari pertama Ramadhan dengan hanya berdiam diri tanpa melakukan aktifitas.
Manfaatkanlah setiap hari dibulan Ramadhan sebagai ladang ibadah. Lakukanlah
kebaikan sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak tilawah Al Quran, berdoa,
sholat shunah, beramal shaleh dan membantu orang lain. Selain itu bekerja,
memperbanyak silahturahmi, serta menjaga hubungan baik juga merupakan sebuah
ibadah. Semoga semua ibadah yang kita lakukan selama bulan Ramadhan diberkahi
serta dirahmati Allah SWT.
PERANG UHUD (Perang di Zaman Rasulullah)
Sementara itu, pada sisi yang lain, tatkala
berkecamuk Perang Uhud, kaum muslimin kalah dari kaum kafi yang mengingkati
tauhid. Penyebabnya karena pasukan Islam kurang mematuhi perintah sang
pemimpin, Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman:
“Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan
Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" (Ali
Imran: 165).
Padahal
sebelumnya kalian telah meraih kemenangan di Perang Badar. Sekarang, setelah
kalian mendapat kekalahan, kalian berkata, "Darimana datangnya (kekalahan)
ini?" kaum muslimin merasa heran; mengapa mereka ditimpa kekalahan dalm
perang melawan kaum musyrikin ini?
Lalu datanglah jawaban langsung dari Allah SWT.
Dia berfirman :
قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya : “...Katakanlah, ’Itudari (kesalahan) dirimu
sendiri.’ Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: 165)
Pada Perang Uhud, kaum muslimin bukan hanya
tidak mematuhi strategi dan taktik yang telah diajarkan saja, yaitu ketika para
pemanah di atas bukit meninggalkan pos-pos mereka untuk mengambil harta
rampasan perang. Akan tetapi, mereka juga melakukan pelanggaran yang sangat
berbahaya, yaitu penodaan hati.
Allah SWT berfirman :
...مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآخِرَةَ...
“...Di antara kamu ada
orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki
akhirat...” (Ali Imran: 152).
“Burung-burung Ababil”
itu tidak turun membantu kaum muslimin guna menyelamatkan mereka dari kesalahan
dan pelanggaranyagn mereka lakukan. Sebab, sunatullah yang telah Allah SWT
tetapkan untuk umat ini adalah:
“Jika kamu menolong
(agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(Muhammad: 7).
Hendaklah kita selalu sadar bahwa sekarang kita
tak lagi hidup di zaman Abrahah! Akan tetapi kita berada di zaman Rasulullah
SAW; zaman sunnah Rasulullah SAW dan sunnah yang disyariatkan Allah SWT bagi
umatnya.
PERANG KHANDAQ (AHZAB) / Perang di Zaman Rasulullah
Sejarah Islam (Perang di Zaman Rasulullah
PERANG KHANDAQ
Pada
peperangan ini pasukan kaum kafir berjumlah sepuluh ribu orang. Mereka
mengepung Nabi dan Rasul paling mulia Muhammad SAW, dan para shahabat yang
utama. Umat Islam terancam dibumihanguskan hingga ke akar-akarnya.
Kebenaran
yang sempurna ada di kota Madinah, sedangkan kebatilan yang mengakar sedang
mengepungnya. Sementara itu, “burung-burung Ababil” tak kunjung turun untuk
menghabisi pasukan kaum kafir. Kaum kafir tidak tertimpa kebinasaan, malapeteka,
kehancuran, serta badai topan. Sunatullah yang ada pun berlaku :
Artinya : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah,
niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).
- Harus ada keyakinan kuat untuk meraih kemenangan
- Kaum beriman harus bersatu padu
- Harus ada perencanaan yang tepat
- Harus menggali parit
- Harus sabar menahan lapar
- Harus melakukan sumpah dan janji setia
- Harus memecah belah kekuatan kaum musyrikin dengan kaum Yahudi
- Harus mahir bertempur
- Harus mempunyai badan intelejen dan informasi yang akurat.
Semua
itu diramu dan disatupadukan dengan akidah yang lurus dan ibadah yang benar.
Jika hal tersebut telah terpenuhi, niscaya pertolongan Allah SWT kepada
hamba-hamba-Nya yang tegar dan kokoh akan segera turun. “burung-burung Ababil”
atau yang semisalnya akan segera datang.
Pertolongan
itu akan datang berbentuk angin kencang serta perpecahan dan pertikaian antara
kaum musyrikin denga kaum Yahudi. Wujudnya berupa rasa takut dan cemas, berupa
rasa gentar dan nyali yang ciut. Namun, di atas segalanya, yang penting kita
harus berbuat dan berjuang; terus beramal saleh. Ya, amal perbuatan yang
semata-mat ikhlas karena Allah SWT.
PERANG BADAR (Perang di zaman Rasulullah)
Seburuk-buruk
generasi adalah orang-orang kafir yang dipimpin oleh “Fir’aun umat ini”, yaitu
Abu Jahal. Mereka telah memerangi generasi umat terbaik yan gpernah hidup di
muka bumiyang berada di bawah komando baginda Rasulullah SAW.
Namun demikian, “burung-burung Ababil” tidak akan menghampiri kaum kafir untuk mencegah peperangan dan pertempuran di antara kedua pasukan tersebut. Justru yang terjadi sebaliknya, semua perangkat dan kondisi yang ada mendorong kedua pasukan ini ingin berperang, walaupun kedua pasukan ini enggan untuk berperang. Allah SWT berfirman :
وَلَوْ تَوَاعَدْتُمْ لَاخْتَلَفْتُمْ فِي الْمِيعَادِ وَلَكِنْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا
Artinya : “Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan...” (Al Anfal: 42).
وَإِذْ يُرِيكُمُوهُمْ إِذِ الْتَقَيْتُمْ فِي أَعْيُنِكُمْ قَلِيلًا وَيُقَلِّلُكُمْ فِي أَعْيُنِهِمْ لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
Artinya : “Dan ketika
Allah menampakkan mereka kepada kamu sekalian, ketika kamu berjumpa dengan
mereka berjumlah sedikit pada penglihatan matamu dan kamu ditampakkan-Nya
berjumlah sedikit pada penglihatan mata mereka, Karena Allah hendak melakukan
suatu urusan yang mesti dilaksanakan. dan hanyalah kepada Allah-lah dikembalikan
segala urusan.” (Al Anfal: 44).
Walau
bagaimanapun pertempuran pasti terjadi. Namun, sebelum pertempuran dimulai
“burung-burung Ababil” tidak kunjung turun mengambil bagian. Padahal, pasukan
kaum beriman jauh berlipat-lipat lebih mulia di sisi Allah SWT dibandingkan
dengan penduduk kota Makkah ketika diserbu oleh Abrahah. Yang terjadi adalah
sunatullah yang baru :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya
: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7).
Isi dari aturan baru dalam menghadapi kaum zalim
ini adalah :
- Mesti memilih tempat (posisi) yang tepat
- Mesti melakukan musyawarah yang bersih /hakiki
- Mesti mengatur dan menyusun abgian yang kokoh
- Mesti menyatukan dan mengharmoniskan hati
- Mesti membawa pedang (senjata)
- Harus ada perencanaan (strategi) yang jitu dan akurat
- Harus memanjatkan doa sepenuh hati
- Harus memiliki keteguhan hati yang kokoh; dan
- Harus dilalui dengan penderitaan, luka yang mengoyak, darah yang bersimbah, dan gugurnya para syuhada.
Baru
setelah semua ini dilalui, “burung-burung Ababil” pun turun. Pertolongan Allah
SWT akan datang berupa malaikat, hujan, rasa takut dan gentar yang menyusupu
hati orang-orang kafir, atau perepecahan dan pertiakian yang etrjadi di
tengah-tengah barisan musuhdalam bentuk apa saja yang dikehendaki Allah SWT,
Rabb semesta alam. Akan tetapi, yang paling penting adalah harus berbuat dan
berusaha; harus bergerak dan berjuang secara aktif.
Wednesday, June 24, 2015
Menjaga Lisan, Agar selalu berkata baik
Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab : 70-71
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni
dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]
Dalam ayat lain yaitu surat Al-Hujurat ayat 12, Allah
jelaskan :
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya
sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]
Dalam Surat Qaf ayat :
16 – 18 Allah juga berfirman :
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah
kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]
Selanjutnya dalam surat
al-Ahzab ayat 58 :
Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata” [Al-Ahzab : 58]
Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh.
Semua tunduk dan patuh kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh
ikut lurus. Jika ia bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuh.
Tiada
satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran Allah. Tiada satu
patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu. Tiada satu patah
katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka, sebaik-baik dan
seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang sangat mampu memperhitungkan
dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat
beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah
sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan
menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Setiap manusia diberi modal oleh Allah dalam
mengarungi kehidupan ini. Modalnya adalah waktu, dan seberuntung-beruntungnya
manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk keuntungan dunia dan
akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya manusia adalah orang yang
menghambur-hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita berbicara pasti menggunakan
modal kita, yaitu waktu. Maka, sebenarnya kemuliaan dan kehormatan itu dapat
dilihat dari apa yang diucapkannya. Allah SWT berfirman :
"Amat
sangat beruntung, bahagia, sukses, orang yang khusu' dalam sholatnya, dan orang
yang berjuang dengan sungguh-sungguh menahan diri dari perbuatan dan perkataan
sia-sia." (QS Al Mu'minun 23: 1- 3).
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Q.S. Al-Israa : 36
“Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”
Salah satu ciri martabat keislaman seseorang
itu bisa dilihat dari bagaimana ia berjuang keras untuk menghindarkan dirinya
dari kesia-siaan. Maka semakin kita larut dalam kesia-siaan maka, akan semakin
tampak keburukan martabat keislaman kita dan semakin akrab dengan bala bencana,
yang selanjutnya hati pun akan keras membatu dan akan lalai dari kebenaran.
Rasulullah sendiri dengan tegas melarang kita banyak bicara yang sia-sia.
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak
bicara selain berdzikir kepada Allah, sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa
dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang
hatinya keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara tapi ternyata
tidak mulia dengan kata-katanya. Banyak orang berkata tanpa bisa menjaga diri,
padahal kata-kata yang terucapkan harus selalu dipertanggung-jawabkan, yang
siapa tahu akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata, kita yang
menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan kitalah yang ditawan kata-kata
kita.
Rasulullah bersabda : " Barangsiapa
memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Maka barangsiapa jatuh
dirinya, maka akan banyak dosanya. Barangsiapa banyak dosanya, maka nerakalah
tempatnya". (HR. Abu Hatim).
Rasulullah bersabda :
"Kebanyakan
yang memasukkan ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji
(kemaluan)" (HR
Turmudji dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan
berarti agama seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya". Beliau
melanjutkan, "Baiknya Islam
seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
baginya". Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan bermutu, ada empat syaratnya, yaitu :
1.
Berkatalah
dengan Perkataan yang Benar
Kalau kita ingin berbicara dengan benar, maka
pastikan bahwa pembicaraan kita bersih dari bohong, bersih dari dusta.
Kata-kata kita ini harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jangan pernah mau berkata apapun yang kita sendiri tidak yakin dengan apa yang
kita katakan. Jangan berusaha berkata-kata semata-mata agar orang terkesima,
terpesona, suka, karena semuanya tidak akan menolong kita. Perkataan kita yakin
dengan seyakin-yakinnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan.
Bohong, dusta, sama sekali tidak akan menolong
diri kita ini, karena kedustaan mutlak diketahui oleh Alloh dan sangat mudah bagi
ALlah membeberkan segala kebohongan dan kedustaan kita.
Dusta tidak akan mengangkat derajat, bahkan
sebaliknya kalau Allah membeberkan kebohongan kita, kedustaan kita, maka, kita
akan menjadi orang yang tidak berharga sedikitpun. Untuk dapat orang percaya
pada kita tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa dibayar dengan harta,
sekali tampak bahwa kita pendusta, pembohong, tukang tipu, maka akan butuh
waktu yang sangat lama untuk mengembalikan kepercayaan orang pada kita.
Dusta, bohong, hanya membuat hidup jadi sempit.
Camkan, bahwa semakin banyak kita berbohong, semakin sering kita berdusta, maka
kita telah membuat penjara, yang membuat kita selau takut dusta kita terbuka,
bahkan selanjutnya kita akan berusaha untuk membuat dusta baru, bohong baru untuk
menutupi kebohongan yang telah kita lakukan.
Beranilah hidup tampil dengan apa adanya,
biarlah kita tampil begini adanya. Kenapa harus berdusta, lebih baik kita tidak
diterima, karena kita sudah mengatakan apa adanya daripada kita diterima karena
mendustainya. Jangan berat untuk tampil apa adanya. Daripada kita sibuk
merekayasa agar rekayasa kata, sangat pasti tidak akan menolong sedikitpun
"yu izzumantasyaa wa tudzillu man tasya" Yang mengangkat derajat
bukan kebohongan, bukan rekayasa kita, tapi Allah saja, dan sebaliknya yang
menghinakan juga Allah.
Cegahlah dusta walau sekecil apapun, kecuali
tentunya bohong yang dibenarkan oleh syariat. Misalnya, bohong dalam rangka
bersiasat kepada musuh, bohong ringan dengan maksud untuk mendamaikan
orang-orang yang bersengketa demi kebaikan. Bohong istri kepada suami atau
sebaliknya dengan maksud untuk menyembunyikan kejelekan, bohong untuk
membahagiakan dengan cara yang sah dan benar, tetapi bukan bohong untuk
menyembunyikan aib dan kesalahan.
Sahabat-sahabat sekalian, Berpikirlah sebelum
berbicara. Jangan pernah biarkan terlontar dari lisan ini sesuatu yang kita
sendiri meragukannya. Apalagi dengan sengaja kita berkata dusta, naudzubillah.
Demi Allah, Allah Maha Mendengar, tahu persis segala nita di balik kata yang
kita ucapkan. Kedustaan kita hanya masalah waktu saja bagi Allah untuk
membeberkannya, walau mati-matian kita menutupinya. Maka, pastikan setiap
pembicaraan kita untuk tidak ada dusta, walau sedikitpun.
Firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263)
Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi hamba-hamba-Nya untuk selalu menyampaikan
kebenaran.
Selalulah mohon
kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi sehingga terhindar dari
perkataan yang tidak benar.
2. Berkatalah
sesuai tempatnya
"Liqulli maqaam maqaal walikulli maqaal
maqaam" Artinya, "Tiap perkataan itu ada tempat terbaik dan setiap
tempat memiliki perkataan (yang terucap) yang terbaik pula."
Tidak setiap kata sesuai di setiap tempat,
sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang dibutuhkan.
Hati-hati sebelum kita bicara, harus kita ukur siapa yang diajak bicara.
Berbicara dengan anak kecil tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara dengan
orang tua. Berbicara dengan remaja tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara
dengan guru kita. Orang yang tidak terampil untuk membaca situasi, walau
niatnya benar, hasilnya bisa jadi kurang benar.
Lihatlah misalnya, ketika kita berbincang
dengan ponakan yang masih kecil, betapa kita akan berusaha menyesuaikan diri
dengan dunianya, gerakan tangan kita, raut muka kita. Hal ini karena dia tidak
akan mengerti kalau kita menggunakan gaya bahasa orang tua. Tapi tidak mungkin
kita memperlakukan guru kita dengan cara yang sama seperti kala kita berbicara
kepada keponakan kita.
Oleh karena itu, niat untuk berdakwah dengan
mengetahui dalil-dalil Quran, memahami dan mengetahui banyak hadist, belumlah
cukup. Sebab kalau kita berbicara tanpa cara yang tepat, misalnya dengan
mengobral dalil, menunjukkan banyaknya hafalan saja, tidaklah cukup.
Dalam situasi orang berkumpul pasti punya
kondisi mental yang berbeda, ada orang yang sedang gembira, yang tentu saja
akan berbeda daya tangkapnya dengan yang sedang nestapa. Ada orang yang sedang
menikmati kesuksesannya, dan tentu saja akan berbeda dengan orang yang sedang
dilanda masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang sehat berbeda
kemampuan menangkap idenya, dengan orang yang sedang sakit, orang yang sedang
segar bugar, ceria berbeda kemampuan memahaminya dengan orang sudah letih lahir
batinnya. Maka seseorang pembicara terbaik tidak cukup hanya berbica benar,
tapi juga harus sangat bisa memilih situasi kapan dia berbicara.
Mengapa banyak nasehat orang tua yang tidak
didengar oleh anaknya yang masih remaja? Saya khawatir orang tua merasa benar
dengan apa yang dikatakannya, tapi tidak benar dalam membaca situasi dan
kondisi remaja yang sedang diajak bicara, yang notabene kondisinya sedang
labil. Memang aneh kita ini ketika anak masih kecil, orang tua akan berusaha
beraktivitas, bersikap, dan berbicara agar dapat dipahami oleh si kecil, tetapi
menjelang remaja, pada saat perpindahan usia, perpindahan masa, ia tidak
berusaha beradaptasi dengan kondisi anaknya. maka disinilah kita perlu ilmu.
Sebab dengan ilmu yang memadai setiap orang dapat berwibawa di depan
anak-anaknya.
Subhaanallah,
Ada banyak cara dalam berkomunikasi, dan
berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan oleh Allah untuk berbicara
sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan petani, tentu saja
berbeda dialognya dengan seorang eksekutif. Berada di lingkungan santri yang
fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda kalau kita harus berdialog dengan orang
di pasar yang tidak mengerti bahasa Arab. Seorang pendakwah misalnya, kalau
orangnya tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil, mengobral kata-kata, walau
tentu saja tidak semuanya salah, tapi apalah artinya jika kita meletakkan
sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Pernah terjadi suatu ketika Umar bin Khathab
bertemu dengan Abu Hurairah, "Mau pergi kemana engkau, hei Abu
Hurairah?" Tanya Umar
"Aku mau ke pasar, akan aku umumkan apa
yang kudengar dari Rasulullah SAW," Jawab Abu Hurairah. "Apa kata
Beliau ?", Umar bertanya lagi "Setiap orang yang mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah, maka dakhalal Jannah, akan masuk Surga". "Tunggu
dulu, wahai sahabat", cegah Umar. Umar bin Khathab pun kemudian pergi
menemui Rasulullah. "Yaa Rasulullah, apakah benar engkau bersabda demikian
(sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Hurairah)?" Tanyanya. Dan Rasul pun
meng-iya-kan. "Tetapi, Yaa Rasul, saya keberatan kalau sabdamu itu
disebarkan kepada sembarang orang karena dikuatirkan akan salah dalam
menafsirkannya."
Mendengar keberatan Umar itu, Rasul tercenung,
lalu sesaat kemudian bersabda, "Yaa, aku setuju dengan pendapatmu".
Abu Hurairah pun lalu dilarang untuk mengumumkannya di pasar.
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, karena dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang mendengarnya,
karena diucapkan tidak pada tempatnya.
3. Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Orang yang lisannya bermutu haruslah berkemampuan
memperhalus dan menjaga kata-katanya tidak menjadi duri atau tidak bagai pisau
silet yang siap melukai orang lain. Betapa banyak kata-kata yang keluar yang
rasa-rasanya ketika mengeluarkannya begitu gampang, begitu enak, tapi yang
mendengar malah sebaliknya, hatinya tercabik-cabik, tersayat-sayat perasaannya,
begitu perih dan luka tertancap dihatinya. Seakan memberi nasehat, tapi bagi
yang mendengar apakah merasa dinasehati atau malah merasa dizhalimi.
Hati-hati, ibu kepada anak, suami kepada istri, istri
kepada suami, guru kepad murid, atasan kepada bawahan. Kadang kelihatannya
seperti sedang memberi nasehat tetapi sesungguhnya kalau tidak hati-hati dalam
memilih kata, justru kita sedang mengumbar duri-duri pisau 'cutter' yang tajam
mengiris.
Rasulullah bersabda, "Jiwa seorang mukmin bukanlah
pencela, pengutuk, pembuat perbuatan keji dan berlidah kotor" (HR. Turmudji
dan Ibnu Mas'ud).
Bahkan bagi orang kafir sekalipun, Nabi melarang
mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika beberapa orang kafir terbunuh dalam perang
Badar, Nabi bersabda :
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
Sahabat-sahabat kalau kita berbuat salah, kita begitu
rindu orang lain bersifat bijak kepada kita dengan memberi maaf. Kala kita tak
sengaja memecahkan piring atau melakukan kesalahan sehingga TV rusak atau kita
naik motor agak lalai sehingga menabrak atau masuk got. Maka apa yang kita
inginkan ? Yang kita inginkan dari orang lain adalah dia dapat bijaksana kepada
kita. "Innaalillaahi wa innaailaihi raaji'uun" "Lain kali lebih
hati-hati, jadikan ini pelajaran yang baik, bertaubatlah". Demikian
kata-kata bijak yang kita harapkan. Sebab sangat pasti akan selalu ada
kesempatan kita untuk berbuat kesalahan.
Dikala itu, jika orang menyikapi dengan baik, kita diberi
semangat untuk bertaubat, semangat untuk mempertanggungjawabkan, kita tidak
dicela, kita tidak dipermalukan, maka yang terjadi adalah semangat kita untuk
mempertanggungjawabkannya menjadi lebih besar.
Bandingkan dengan kalau kita melakukan suatu kesalahan,
lalu orang lain marah kepada kita, "Diam disini, ini perhatikan ! Dasar
anak dungu, tidak hati-hati, begitu sering membuat kesalahan, kemarin ini,
sekarang itu. Ini adalah kelakuan yang sangat menyebalkan, dia pengacau di
tempat kita, dia adalah orang yang paling merugikan". Bayangkan perasaan
kita, yang terjadi adalah merasa dipermalukan, merasa dicabik-cabik, merasa
dihantam, merasa diremukkan, harga diri kita benar-benar diinjak-injak. Saya
kira kata-kata itu tidak akan masuk ke dalam kalbu, kecuali dendam yang akan merasuk.
Diriwayatkan bahwa suatu waktu, seorang Arab Badwi bertemu
Rasulullah SAW, dan Rasulullah berkata : "Engkau harus bertakwa kepada
Allah, Jika seseorang membikin malu padamu, dengan sesuatu yang diketahuinya
padamu, maka janganlah memberi malu dia dengan sesuatu yang engkau ketahui
padanya. Niscaya akan celaka padanya dan pahalanya padamu. Dan janganlah engkau
memaki sesuatu !" (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam Hadist lain Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa
yang pertama-tama diberitahukan Tuhan kepadaku dan dilarang aku daripadanya
sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah mencaci orang". (HR.
Ibu Abi Dunya).
Sungguh kalau kita tidak suka dipermalukan, tidak suka
disakiti, tidak suka direndahkan, mengapa kata-kata kita sering mempermalukan,
merendahkan, menghinakan orang lain? Padahal, sebaik-baiknya kata adalah yang
mengoreksi, yang dapat meraba perasaan diri sendiri dan orang lain kalau
misalnya kita diperlakukan seperti itu. "Duh, dengan kata-kata ini dia
terluka atau tidak, dengan kata-kata ini dia tersakiti atau tidak ?"
Manfaat tidak kalau misalnya ada yang shaum, lalu ditanya
shaum atau tidak, makin kita tanya, "Saudara shaum atau tidak?"
Padahal dia sedang berusaha menyembunyikan amalnya, terpaksa harus bicara.
Kalau menjawab "Ya, Saya Shaum", terbersit peluang untuk riya. Kalau
menjawab, "Tidak", jadi dosa karena berdusta. Kalau diam saja takut
disangka sombong. Maka, kita telah menyusahkan orang gara-gara pertanyaan kita.
Saudara-saudara sekalian, sudahlah jangan banyak tanya
yang kira-kira tidak bermanfaat bahkan menjadi beban bagi yang ditanya. Jangan
pernah berkata yang membuat orang lain jadi susah, kita juga tidak mau
disusahkan oleh perkataan orang lain. Kalau disuruh memilih, mending diajak
bicara yang kasar atau yang halus ? Tentu kita akan memilih berbicara dengan
bahasa yang halus.
Firmannya, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah segolongan laki-laki
menghina segolongan yang lain, boleh jadi (mereka yang dihina itu) lebih baik
dari mereka (yang menghina). Dan janganlah segolongan perempuan (menghina)
golongan perempuan yang lainnya, boleh jadi (yang dihina) lebih baik dari
mereka (yang menghina)." (QS. Al Hujurat 49:11).
Rasulullah juga bersabda,
"Demi Allah Aku tidak suka
menceritakan tentang seseorang". (HR. Abu Daud dan Turmudji). Jangan pula
menasehatkan apa yang tidak pernah kita lakukan, sebab firman-Nya: "Hai, orang-orang yang beriman, mengapa
engkau berkata-kata sesuatu yang tidak engkau perbuat. Sesungguhnya amat besar
kemurkaan Allah terhadap orang yang berkata tapi tidak melakukannya."
(QS. Ash Shaff 61: 2-3)
Maka, mulai sekarang, jagalah
lisan kita, banyaklah berbuat daripada berkata, atau banyaklah berkata dengan
perbuatan daripada banyak berkata tanpa ada perbuatan. Kita tidak akan
terhormat oleh banyak berbicara sia-sia, kehormatan kita adalah dengan berkata
benar atau diam.
Gelas yang kosong hanya diisi
dengan air, tapi mata air yang melimpah airnya bisa mengisi wadah apapun.
Artinya, orang yang kosong harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi orang yang
melimpah harga dirinya akan senang menghargai orang lain.
Pastikan gaya bicara kita jangan merendahkan orang lain,
karena diri kita ingin dihargai, hal itu justru menunjukkan kerendahan diri
kita. Karena mulut itu bagai moncong teko, hanya mengeluarkan isi teko, di
dalam kopi keluar kopi, di dalam teh keluar teh, di dalam bening keluar bening.
Maka berbahagialah bagi yang ucapannya keluar dari mulutnya bagai untaian
kalung mutiara, yang niscaya ia akan merasakan betapa indah dan berkilau
indahnya. Kalau pembicaraan bagai untaian perhiasan harganya, insyaallah
hatinya akan berharga pula. Tapi kalau mulutnya bagai keranjang sampah tumpah,
maka hatinya akan tak jauh pula.
4. Berkatalah yang bermanfaat
Dikisahkan
bahwa suatu waktu Nabi Isa, as, melihat bangkai seekor anjing, ketika
sahabat-sahabatnya berpaling karena jijik, maka Nabi Isa justru melihat susunan
gigi putihnya yang tertata indah,
"Anjing
itu giginya rapi sekali yaa...!", Teman-temannya keheranan. "Yaa,
Rabbii (Guru), kenapa Paduka berkata begitu, bangkai anjing itu kan sangat
menjijikkan. Bahkan Paduka sendiri kalau dihina, dicaci, diremehkan dengan kata-kata
jelek, kata-kata Tuan selalu baik ?"
Nabi Isa
Menjawab:
"Karena
setiap orang memang akan mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau pikiran dan
perasaannya jelek, maka yang keluar adalah yang jelek-jelek juga",
Demikian jawabnya. Makin banyak kepeleset lidah, makin banyak masalah dan
dosanya, makin banyak dosa, nerakalah tempatnya. Maka, "Fal yakul khairan
au liyasmut", "Berkatalah yang benar atau diam", Demikian Sabda
Nabi. Jangan sekali-kali mencela makanan yang sudah tersaji di depan mata.
"Huuh, ini mah terlalu asin !" Kalau nggak suka kasikan kepada
makhluk lain yang lebih membutuhkan. Ada makanan terlalu dingin, yaa hangatkan
! Jangan mengeluh, jangan mencela. Sebab sudah dikasih makan saja oleh Allah
sudah untung.
Mencela
atau mengutuk bukanlah akhlak seorang muslim. Rasulullah bersabda, "Orang
Mukmin itu bukan type pengutuk" (HR. Turmudji). Dalam Hadits lain Nabi SAW
bersabda, "Janganlah Kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan ALLAH, dengan
kemarahan-NYa, dan dengan neraka Jahannam". (HR. Abu Dawud dan Turmudji)
Pernah
suatu waktu ketika di tanah suci, ada seorang jemaah haji ikhwan yang suatu
waktu ia mendapat jatah makanannya dingin dan keras. Maka, mengeluhlah dia,
"Huuh, susah di Arab ini, masa nasi aja sebegini keras." Gerutunya
tanpa henti. Seseorang kemudian menasehatinya, "Pak, kalau Bapak semakin
mengeluh, mencela, Bapak akan semakin sengsara, menderita. Karena yang memberi
makan adalah ALLAH, ada kalanya Allah menguji dengan makanan yang enak dan
lezat, ada kalanya pula Allah menguji dengan makanan yang tidak enak atau
mungkin dengan makanan yang sudah basi. Kenapa ketika sekali ini makanan kita
tidak enak, lalu kita sibuk mencaci, mencela, yang tidak akan menyelesaikan
masalah, bahkan justru mengundang murka Allah "
Padahal
di Mekkah lamanya 40 hari, 40 x 3 = 120 kali, dan makan yang enggak enak ini
cuma satu kali, maka tidak adik dia, zhalim dia. Sahabat-sahabat sekalian
berhentilah mencela. Lihat orang berbibir tebal, sudahlah jangan mencela, toh
bibik kita dan bibir dia, ALLAH juga yang menciptakan. Seseorang yang matanya
sipit, tidak berarti kita harus mengatakan "betapa sempitnya dunia bagi
dia". Dia sama sekali tidak memiliki matanya, Allah-lah yang
menciptakannya. Apakah kita akan mencela ciptaan Allah ?
Padahal
olok-olok, penghinaan, dan pencelaan akan menyulitkan kita di akhirat kelak.
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok manusia
itu, dibukakan pintu surga bagi salah seorang dari mereka. Lalu dikatakan
kepadanya, "Mari, marilah!" Lalu orang yang memperolok-olokan itu
datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu surga itu,
lalu pintu surga itu terkunci buat dia. Maka terus menerus seperti yang
demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan
kepadanya. "Mari, Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke pintu
itu". (HR. Ibnu Abi Dunya).
Maka
pastikan, dari mulut kita tidak keluar kata-kata penghinaan, pencelaan,
olok-olok, dan yang sejenisnya. Pokoknya kalau enggak perlu-perlu amat, jangan
bunyi. Wah, kalau begitu nanti dunia ini sepi dong...
Lho
bicara itu tidak selalu harus pakai mulut, senyum ramah, duduk dengan penuh
perhatian, santun, ini sudah bicara. Cara menunjuk, cara bersila, bagaimana
kita bersikap terhadap pembicaraan orang lain. Itu semua sudah merupakan ribuan
kata, bahkan jutaan kata.
Ingatlah bahwa syarat
istiqomahnya hati di jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda Nabi SAW,
bahwa "Tidak akan istiqomah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan
tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqamah lisannya". (HR. Ahmad)
Subhanallah, maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan mengelola lisan kita
dengan hanya digunakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Demikian bahan ceramah tentang Menjaga Lisan