Firman Allah dalam Q.S. Al-Ahzab : 70-71
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni
dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia
telah mendapat kemenengan yang besar” [Al-Ahzab : 70-71]
Dalam ayat lain yaitu surat Al-Hujurat ayat 12, Allah
jelaskan :
“Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya
sebagian tindakan berprasangka itu adalah dosa. Janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah kamu sebahagian kamu menggunjing sebahagian
yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang
sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [Al-Hujurat : 12]
Dalam Surat Qaf ayat :
16 – 18 Allah juga berfirman :
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu)
ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk disebelah
kanan dan yang lain duduk disebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya
melainkan di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadirs” [Qaf : 16-18]
Selanjutnya dalam surat
al-Ahzab ayat 58 :
Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang
mereka perbuat, maka sesunguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang
nyata” [Al-Ahzab : 58]
Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh.
Semua tunduk dan patuh kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh
ikut lurus. Jika ia bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuh.
Tiada
satu patah katapun yang kita ucapkan luput dari pendengaran Allah. Tiada satu
patah katapun yang diucapkan kecuali pasti memakan waktu. Tiada satu patah
katapun yang kita ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita
pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Maka, sebaik-baik dan
seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang sangat mampu memperhitungkan
dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Sungguh, alangkah sangat
beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang diucapkannya, alangkah
sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari kesia-siaan berkata dan
menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Setiap manusia diberi modal oleh Allah dalam
mengarungi kehidupan ini. Modalnya adalah waktu, dan seberuntung-beruntungnya
manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk keuntungan dunia dan
akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya manusia adalah orang yang
menghambur-hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita berbicara pasti menggunakan
modal kita, yaitu waktu. Maka, sebenarnya kemuliaan dan kehormatan itu dapat
dilihat dari apa yang diucapkannya. Allah SWT berfirman :
"Amat
sangat beruntung, bahagia, sukses, orang yang khusu' dalam sholatnya, dan orang
yang berjuang dengan sungguh-sungguh menahan diri dari perbuatan dan perkataan
sia-sia." (QS Al Mu'minun 23: 1- 3).
Allah Azza wa Jalla berfirman dalam Q.S. Al-Israa : 36
“Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban”
Salah satu ciri martabat keislaman seseorang
itu bisa dilihat dari bagaimana ia berjuang keras untuk menghindarkan dirinya
dari kesia-siaan. Maka semakin kita larut dalam kesia-siaan maka, akan semakin
tampak keburukan martabat keislaman kita dan semakin akrab dengan bala bencana,
yang selanjutnya hati pun akan keras membatu dan akan lalai dari kebenaran.
Rasulullah sendiri dengan tegas melarang kita banyak bicara yang sia-sia.
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak
bicara selain berdzikir kepada Allah, sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa
dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang
hatinya keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara tapi ternyata
tidak mulia dengan kata-katanya. Banyak orang berkata tanpa bisa menjaga diri,
padahal kata-kata yang terucapkan harus selalu dipertanggung-jawabkan, yang
siapa tahu akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata, kita yang
menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan kitalah yang ditawan kata-kata
kita.
Rasulullah bersabda : " Barangsiapa
memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Maka barangsiapa jatuh
dirinya, maka akan banyak dosanya. Barangsiapa banyak dosanya, maka nerakalah
tempatnya". (HR. Abu Hatim).
Rasulullah bersabda :
"Kebanyakan
yang memasukkan ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji
(kemaluan)" (HR
Turmudji dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan
berarti agama seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya". Beliau
melanjutkan, "Baiknya Islam
seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
baginya". Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan bermutu, ada empat syaratnya, yaitu :
1.
Berkatalah
dengan Perkataan yang Benar
Kalau kita ingin berbicara dengan benar, maka
pastikan bahwa pembicaraan kita bersih dari bohong, bersih dari dusta.
Kata-kata kita ini harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jangan pernah mau berkata apapun yang kita sendiri tidak yakin dengan apa yang
kita katakan. Jangan berusaha berkata-kata semata-mata agar orang terkesima,
terpesona, suka, karena semuanya tidak akan menolong kita. Perkataan kita yakin
dengan seyakin-yakinnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan.
Bohong, dusta, sama sekali tidak akan menolong
diri kita ini, karena kedustaan mutlak diketahui oleh Alloh dan sangat mudah bagi
ALlah membeberkan segala kebohongan dan kedustaan kita.
Dusta tidak akan mengangkat derajat, bahkan
sebaliknya kalau Allah membeberkan kebohongan kita, kedustaan kita, maka, kita
akan menjadi orang yang tidak berharga sedikitpun. Untuk dapat orang percaya
pada kita tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa dibayar dengan harta,
sekali tampak bahwa kita pendusta, pembohong, tukang tipu, maka akan butuh
waktu yang sangat lama untuk mengembalikan kepercayaan orang pada kita.
Dusta, bohong, hanya membuat hidup jadi sempit.
Camkan, bahwa semakin banyak kita berbohong, semakin sering kita berdusta, maka
kita telah membuat penjara, yang membuat kita selau takut dusta kita terbuka,
bahkan selanjutnya kita akan berusaha untuk membuat dusta baru, bohong baru untuk
menutupi kebohongan yang telah kita lakukan.
Beranilah hidup tampil dengan apa adanya,
biarlah kita tampil begini adanya. Kenapa harus berdusta, lebih baik kita tidak
diterima, karena kita sudah mengatakan apa adanya daripada kita diterima karena
mendustainya. Jangan berat untuk tampil apa adanya. Daripada kita sibuk
merekayasa agar rekayasa kata, sangat pasti tidak akan menolong sedikitpun
"yu izzumantasyaa wa tudzillu man tasya" Yang mengangkat derajat
bukan kebohongan, bukan rekayasa kita, tapi Allah saja, dan sebaliknya yang
menghinakan juga Allah.
Cegahlah dusta walau sekecil apapun, kecuali
tentunya bohong yang dibenarkan oleh syariat. Misalnya, bohong dalam rangka
bersiasat kepada musuh, bohong ringan dengan maksud untuk mendamaikan
orang-orang yang bersengketa demi kebaikan. Bohong istri kepada suami atau
sebaliknya dengan maksud untuk menyembunyikan kejelekan, bohong untuk
membahagiakan dengan cara yang sah dan benar, tetapi bukan bohong untuk
menyembunyikan aib dan kesalahan.
Sahabat-sahabat sekalian, Berpikirlah sebelum
berbicara. Jangan pernah biarkan terlontar dari lisan ini sesuatu yang kita
sendiri meragukannya. Apalagi dengan sengaja kita berkata dusta, naudzubillah.
Demi Allah, Allah Maha Mendengar, tahu persis segala nita di balik kata yang
kita ucapkan. Kedustaan kita hanya masalah waktu saja bagi Allah untuk
membeberkannya, walau mati-matian kita menutupinya. Maka, pastikan setiap
pembicaraan kita untuk tidak ada dusta, walau sedikitpun.
Firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada
Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263)
Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi hamba-hamba-Nya untuk selalu menyampaikan
kebenaran.
Selalulah mohon
kepada Allah agar lisan ini dituntun dan dilindungi sehingga terhindar dari
perkataan yang tidak benar.
2. Berkatalah
sesuai tempatnya
"Liqulli maqaam maqaal walikulli maqaal
maqaam" Artinya, "Tiap perkataan itu ada tempat terbaik dan setiap
tempat memiliki perkataan (yang terucap) yang terbaik pula."
Tidak setiap kata sesuai di setiap tempat,
sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang dibutuhkan.
Hati-hati sebelum kita bicara, harus kita ukur siapa yang diajak bicara.
Berbicara dengan anak kecil tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara dengan
orang tua. Berbicara dengan remaja tentu akan jauh beda dengan ketika berbicara
dengan guru kita. Orang yang tidak terampil untuk membaca situasi, walau
niatnya benar, hasilnya bisa jadi kurang benar.
Lihatlah misalnya, ketika kita berbincang
dengan ponakan yang masih kecil, betapa kita akan berusaha menyesuaikan diri
dengan dunianya, gerakan tangan kita, raut muka kita. Hal ini karena dia tidak
akan mengerti kalau kita menggunakan gaya bahasa orang tua. Tapi tidak mungkin
kita memperlakukan guru kita dengan cara yang sama seperti kala kita berbicara
kepada keponakan kita.
Oleh karena itu, niat untuk berdakwah dengan
mengetahui dalil-dalil Quran, memahami dan mengetahui banyak hadist, belumlah
cukup. Sebab kalau kita berbicara tanpa cara yang tepat, misalnya dengan
mengobral dalil, menunjukkan banyaknya hafalan saja, tidaklah cukup.
Dalam situasi orang berkumpul pasti punya
kondisi mental yang berbeda, ada orang yang sedang gembira, yang tentu saja
akan berbeda daya tangkapnya dengan yang sedang nestapa. Ada orang yang sedang
menikmati kesuksesannya, dan tentu saja akan berbeda dengan orang yang sedang
dilanda masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang sehat berbeda
kemampuan menangkap idenya, dengan orang yang sedang sakit, orang yang sedang
segar bugar, ceria berbeda kemampuan memahaminya dengan orang sudah letih lahir
batinnya. Maka seseorang pembicara terbaik tidak cukup hanya berbica benar,
tapi juga harus sangat bisa memilih situasi kapan dia berbicara.
Mengapa banyak nasehat orang tua yang tidak
didengar oleh anaknya yang masih remaja? Saya khawatir orang tua merasa benar
dengan apa yang dikatakannya, tapi tidak benar dalam membaca situasi dan
kondisi remaja yang sedang diajak bicara, yang notabene kondisinya sedang
labil. Memang aneh kita ini ketika anak masih kecil, orang tua akan berusaha
beraktivitas, bersikap, dan berbicara agar dapat dipahami oleh si kecil, tetapi
menjelang remaja, pada saat perpindahan usia, perpindahan masa, ia tidak
berusaha beradaptasi dengan kondisi anaknya. maka disinilah kita perlu ilmu.
Sebab dengan ilmu yang memadai setiap orang dapat berwibawa di depan
anak-anaknya.
Subhaanallah,
Ada banyak cara dalam berkomunikasi, dan
berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan oleh Allah untuk berbicara
sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan petani, tentu saja
berbeda dialognya dengan seorang eksekutif. Berada di lingkungan santri yang
fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda kalau kita harus berdialog dengan orang
di pasar yang tidak mengerti bahasa Arab. Seorang pendakwah misalnya, kalau
orangnya tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil, mengobral kata-kata, walau
tentu saja tidak semuanya salah, tapi apalah artinya jika kita meletakkan
sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Pernah terjadi suatu ketika Umar bin Khathab
bertemu dengan Abu Hurairah, "Mau pergi kemana engkau, hei Abu
Hurairah?" Tanya Umar
"Aku mau ke pasar, akan aku umumkan apa
yang kudengar dari Rasulullah SAW," Jawab Abu Hurairah. "Apa kata
Beliau ?", Umar bertanya lagi "Setiap orang yang mengucapkan Laa
Ilaaha Illallah, maka dakhalal Jannah, akan masuk Surga". "Tunggu
dulu, wahai sahabat", cegah Umar. Umar bin Khathab pun kemudian pergi
menemui Rasulullah. "Yaa Rasulullah, apakah benar engkau bersabda demikian
(sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Hurairah)?" Tanyanya. Dan Rasul pun
meng-iya-kan. "Tetapi, Yaa Rasul, saya keberatan kalau sabdamu itu
disebarkan kepada sembarang orang karena dikuatirkan akan salah dalam
menafsirkannya."
Mendengar keberatan Umar itu, Rasul tercenung,
lalu sesaat kemudian bersabda, "Yaa, aku setuju dengan pendapatmu".
Abu Hurairah pun lalu dilarang untuk mengumumkannya di pasar.
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai dengan kenyataan.
Akan tetapi, karena dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang mendengarnya,
karena diucapkan tidak pada tempatnya.
3. Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Orang yang lisannya bermutu haruslah berkemampuan
memperhalus dan menjaga kata-katanya tidak menjadi duri atau tidak bagai pisau
silet yang siap melukai orang lain. Betapa banyak kata-kata yang keluar yang
rasa-rasanya ketika mengeluarkannya begitu gampang, begitu enak, tapi yang
mendengar malah sebaliknya, hatinya tercabik-cabik, tersayat-sayat perasaannya,
begitu perih dan luka tertancap dihatinya. Seakan memberi nasehat, tapi bagi
yang mendengar apakah merasa dinasehati atau malah merasa dizhalimi.
Hati-hati, ibu kepada anak, suami kepada istri, istri
kepada suami, guru kepad murid, atasan kepada bawahan. Kadang kelihatannya
seperti sedang memberi nasehat tetapi sesungguhnya kalau tidak hati-hati dalam
memilih kata, justru kita sedang mengumbar duri-duri pisau 'cutter' yang tajam
mengiris.
Rasulullah bersabda, "Jiwa seorang mukmin bukanlah
pencela, pengutuk, pembuat perbuatan keji dan berlidah kotor" (HR. Turmudji
dan Ibnu Mas'ud).
Bahkan bagi orang kafir sekalipun, Nabi melarang
mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika beberapa orang kafir terbunuh dalam perang
Badar, Nabi bersabda :
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
"Janganlah kamu memaki mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup. Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
Sahabat-sahabat kalau kita berbuat salah, kita begitu
rindu orang lain bersifat bijak kepada kita dengan memberi maaf. Kala kita tak
sengaja memecahkan piring atau melakukan kesalahan sehingga TV rusak atau kita
naik motor agak lalai sehingga menabrak atau masuk got. Maka apa yang kita
inginkan ? Yang kita inginkan dari orang lain adalah dia dapat bijaksana kepada
kita. "Innaalillaahi wa innaailaihi raaji'uun" "Lain kali lebih
hati-hati, jadikan ini pelajaran yang baik, bertaubatlah". Demikian
kata-kata bijak yang kita harapkan. Sebab sangat pasti akan selalu ada
kesempatan kita untuk berbuat kesalahan.
Dikala itu, jika orang menyikapi dengan baik, kita diberi
semangat untuk bertaubat, semangat untuk mempertanggungjawabkan, kita tidak
dicela, kita tidak dipermalukan, maka yang terjadi adalah semangat kita untuk
mempertanggungjawabkannya menjadi lebih besar.
Bandingkan dengan kalau kita melakukan suatu kesalahan,
lalu orang lain marah kepada kita, "Diam disini, ini perhatikan ! Dasar
anak dungu, tidak hati-hati, begitu sering membuat kesalahan, kemarin ini,
sekarang itu. Ini adalah kelakuan yang sangat menyebalkan, dia pengacau di
tempat kita, dia adalah orang yang paling merugikan". Bayangkan perasaan
kita, yang terjadi adalah merasa dipermalukan, merasa dicabik-cabik, merasa
dihantam, merasa diremukkan, harga diri kita benar-benar diinjak-injak. Saya
kira kata-kata itu tidak akan masuk ke dalam kalbu, kecuali dendam yang akan merasuk.
Diriwayatkan bahwa suatu waktu, seorang Arab Badwi bertemu
Rasulullah SAW, dan Rasulullah berkata : "Engkau harus bertakwa kepada
Allah, Jika seseorang membikin malu padamu, dengan sesuatu yang diketahuinya
padamu, maka janganlah memberi malu dia dengan sesuatu yang engkau ketahui
padanya. Niscaya akan celaka padanya dan pahalanya padamu. Dan janganlah engkau
memaki sesuatu !" (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam Hadist lain Rasulullah SAW bersabda, "Bahwa
yang pertama-tama diberitahukan Tuhan kepadaku dan dilarang aku daripadanya
sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah mencaci orang". (HR.
Ibu Abi Dunya).
Sungguh kalau kita tidak suka dipermalukan, tidak suka
disakiti, tidak suka direndahkan, mengapa kata-kata kita sering mempermalukan,
merendahkan, menghinakan orang lain? Padahal, sebaik-baiknya kata adalah yang
mengoreksi, yang dapat meraba perasaan diri sendiri dan orang lain kalau
misalnya kita diperlakukan seperti itu. "Duh, dengan kata-kata ini dia
terluka atau tidak, dengan kata-kata ini dia tersakiti atau tidak ?"
Manfaat tidak kalau misalnya ada yang shaum, lalu ditanya
shaum atau tidak, makin kita tanya, "Saudara shaum atau tidak?"
Padahal dia sedang berusaha menyembunyikan amalnya, terpaksa harus bicara.
Kalau menjawab "Ya, Saya Shaum", terbersit peluang untuk riya. Kalau
menjawab, "Tidak", jadi dosa karena berdusta. Kalau diam saja takut
disangka sombong. Maka, kita telah menyusahkan orang gara-gara pertanyaan kita.
Saudara-saudara sekalian, sudahlah jangan banyak tanya
yang kira-kira tidak bermanfaat bahkan menjadi beban bagi yang ditanya. Jangan
pernah berkata yang membuat orang lain jadi susah, kita juga tidak mau
disusahkan oleh perkataan orang lain. Kalau disuruh memilih, mending diajak
bicara yang kasar atau yang halus ? Tentu kita akan memilih berbicara dengan
bahasa yang halus.
Firmannya, "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah segolongan laki-laki
menghina segolongan yang lain, boleh jadi (mereka yang dihina itu) lebih baik
dari mereka (yang menghina). Dan janganlah segolongan perempuan (menghina)
golongan perempuan yang lainnya, boleh jadi (yang dihina) lebih baik dari
mereka (yang menghina)." (QS. Al Hujurat 49:11).
Rasulullah juga bersabda,
"Demi Allah Aku tidak suka
menceritakan tentang seseorang". (HR. Abu Daud dan Turmudji). Jangan pula
menasehatkan apa yang tidak pernah kita lakukan, sebab firman-Nya: "Hai, orang-orang yang beriman, mengapa
engkau berkata-kata sesuatu yang tidak engkau perbuat. Sesungguhnya amat besar
kemurkaan Allah terhadap orang yang berkata tapi tidak melakukannya."
(QS. Ash Shaff 61: 2-3)
Maka, mulai sekarang, jagalah
lisan kita, banyaklah berbuat daripada berkata, atau banyaklah berkata dengan
perbuatan daripada banyak berkata tanpa ada perbuatan. Kita tidak akan
terhormat oleh banyak berbicara sia-sia, kehormatan kita adalah dengan berkata
benar atau diam.
Gelas yang kosong hanya diisi
dengan air, tapi mata air yang melimpah airnya bisa mengisi wadah apapun.
Artinya, orang yang kosong harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi orang yang
melimpah harga dirinya akan senang menghargai orang lain.
Pastikan gaya bicara kita jangan merendahkan orang lain,
karena diri kita ingin dihargai, hal itu justru menunjukkan kerendahan diri
kita. Karena mulut itu bagai moncong teko, hanya mengeluarkan isi teko, di
dalam kopi keluar kopi, di dalam teh keluar teh, di dalam bening keluar bening.
Maka berbahagialah bagi yang ucapannya keluar dari mulutnya bagai untaian
kalung mutiara, yang niscaya ia akan merasakan betapa indah dan berkilau
indahnya. Kalau pembicaraan bagai untaian perhiasan harganya, insyaallah
hatinya akan berharga pula. Tapi kalau mulutnya bagai keranjang sampah tumpah,
maka hatinya akan tak jauh pula.
4. Berkatalah yang bermanfaat
Dikisahkan
bahwa suatu waktu Nabi Isa, as, melihat bangkai seekor anjing, ketika
sahabat-sahabatnya berpaling karena jijik, maka Nabi Isa justru melihat susunan
gigi putihnya yang tertata indah,
"Anjing
itu giginya rapi sekali yaa...!", Teman-temannya keheranan. "Yaa,
Rabbii (Guru), kenapa Paduka berkata begitu, bangkai anjing itu kan sangat
menjijikkan. Bahkan Paduka sendiri kalau dihina, dicaci, diremehkan dengan kata-kata
jelek, kata-kata Tuan selalu baik ?"
Nabi Isa
Menjawab:
"Karena
setiap orang memang akan mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau pikiran dan
perasaannya jelek, maka yang keluar adalah yang jelek-jelek juga",
Demikian jawabnya. Makin banyak kepeleset lidah, makin banyak masalah dan
dosanya, makin banyak dosa, nerakalah tempatnya. Maka, "Fal yakul khairan
au liyasmut", "Berkatalah yang benar atau diam", Demikian Sabda
Nabi. Jangan sekali-kali mencela makanan yang sudah tersaji di depan mata.
"Huuh, ini mah terlalu asin !" Kalau nggak suka kasikan kepada
makhluk lain yang lebih membutuhkan. Ada makanan terlalu dingin, yaa hangatkan
! Jangan mengeluh, jangan mencela. Sebab sudah dikasih makan saja oleh Allah
sudah untung.
Mencela
atau mengutuk bukanlah akhlak seorang muslim. Rasulullah bersabda, "Orang
Mukmin itu bukan type pengutuk" (HR. Turmudji). Dalam Hadits lain Nabi SAW
bersabda, "Janganlah Kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan ALLAH, dengan
kemarahan-NYa, dan dengan neraka Jahannam". (HR. Abu Dawud dan Turmudji)
Pernah
suatu waktu ketika di tanah suci, ada seorang jemaah haji ikhwan yang suatu
waktu ia mendapat jatah makanannya dingin dan keras. Maka, mengeluhlah dia,
"Huuh, susah di Arab ini, masa nasi aja sebegini keras." Gerutunya
tanpa henti. Seseorang kemudian menasehatinya, "Pak, kalau Bapak semakin
mengeluh, mencela, Bapak akan semakin sengsara, menderita. Karena yang memberi
makan adalah ALLAH, ada kalanya Allah menguji dengan makanan yang enak dan
lezat, ada kalanya pula Allah menguji dengan makanan yang tidak enak atau
mungkin dengan makanan yang sudah basi. Kenapa ketika sekali ini makanan kita
tidak enak, lalu kita sibuk mencaci, mencela, yang tidak akan menyelesaikan
masalah, bahkan justru mengundang murka Allah "
Padahal
di Mekkah lamanya 40 hari, 40 x 3 = 120 kali, dan makan yang enggak enak ini
cuma satu kali, maka tidak adik dia, zhalim dia. Sahabat-sahabat sekalian
berhentilah mencela. Lihat orang berbibir tebal, sudahlah jangan mencela, toh
bibik kita dan bibir dia, ALLAH juga yang menciptakan. Seseorang yang matanya
sipit, tidak berarti kita harus mengatakan "betapa sempitnya dunia bagi
dia". Dia sama sekali tidak memiliki matanya, Allah-lah yang
menciptakannya. Apakah kita akan mencela ciptaan Allah ?
Padahal
olok-olok, penghinaan, dan pencelaan akan menyulitkan kita di akhirat kelak.
Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok manusia
itu, dibukakan pintu surga bagi salah seorang dari mereka. Lalu dikatakan
kepadanya, "Mari, marilah!" Lalu orang yang memperolok-olokan itu
datang dengan kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu surga itu,
lalu pintu surga itu terkunci buat dia. Maka terus menerus seperti yang
demikian, sehingga pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan
kepadanya. "Mari, Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke pintu
itu". (HR. Ibnu Abi Dunya).
Maka
pastikan, dari mulut kita tidak keluar kata-kata penghinaan, pencelaan,
olok-olok, dan yang sejenisnya. Pokoknya kalau enggak perlu-perlu amat, jangan
bunyi. Wah, kalau begitu nanti dunia ini sepi dong...
Lho
bicara itu tidak selalu harus pakai mulut, senyum ramah, duduk dengan penuh
perhatian, santun, ini sudah bicara. Cara menunjuk, cara bersila, bagaimana
kita bersikap terhadap pembicaraan orang lain. Itu semua sudah merupakan ribuan
kata, bahkan jutaan kata.
Ingatlah bahwa syarat
istiqomahnya hati di jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda Nabi SAW,
bahwa "Tidak akan istiqomah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan
tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqamah lisannya". (HR. Ahmad)
Subhanallah, maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan mengelola lisan kita
dengan hanya digunakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Demikian bahan ceramah tentang Menjaga Lisan
0 comments:
Post a Comment